Rabu, 10 Oktober 2018

KONTRAK KERJA KONSTRUKSI


SEKILAS PERIHAL KONTRAK KERJA KONSTRUKSI

Oleh SITI YUNIARTI (April 2017)

Baik Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi maupun ketentuan penggantinya,Undang-Undang No.27 Tahun 2017, menempatkan Kontrak Kerja Konstruksi sebagai  dasar hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Dengan demikian, hubungan hukum yang timbul antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa berada dalam ranah hukum perdata, khususnya hukum perjanjian.

Konsisten dengan hal tersebut, penerapan salah satu asas dalam hukum perjanjian, yakni asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diaplikasikan pada UU Jasa Konstruksi 2017 melalui penerapan asas kebebasan sebagai salah satu asas yang digunakan dalam penyelenggaraan jasa kontruksi. Asas kebebasan dalam UU Jasa Konstruksi 2017 dimaknai sebagai kebebasan berkontrak antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perihal kebebasan berkontrak, Johannes Gunawan[1] menjelaskan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi:

    Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian.
    Kebebasan para pihak untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian.
    Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
    Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian.

Sejalan dengan lingkup asas kebebasan berkontrak di atas, Pasal 46 ayat (2) UU Jasa Konstruksi 2017 mengatur Kontrak Kerja Konstruksi dibentuk dengan mengikuti perkembangan kebutuhan untuk mengakomodasi bentuk-bentuk kerja konstruksi yang berkembang di masyarakat dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Hal menarik adalah perihal kesetaraan kedudukan antara Penyedia Jasa dan Pegguna Jasa. Perihal kekurangan kesetaraan Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa diakui secara eksplisit dalam Bagian Umum Penjelasan UU Jasa Konstrusi 1999 sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi jasa konstruksi nasional pada saat diundangkannya UU Jasa Konstruksi 1999. Adapun dalam UU Jasa Konstruksi 2017, walaupun tidak menyatakan hal serupa, namun UU Jasa Konstruksi 2017 menempatkan kesetaraan antara Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, yakni asas kesetaraan yang dimaknai bahwa kegiatan Jasa Konstruksi harus dilaksanakan dengan memperhatikan kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Serta menempatkan kesetaraan hubungan kerja Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sebagai salah satu tujuan dari penyelenggaraan jasa konstruksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 huruf (b) UU Jasa Konstruksi 2017 sebagai berikut:

Penyelenggaran Jasa Konstruksi bertujuan untuk:

    mewujudkan ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

Sejalan dengan penggunaan asas kesetaraan dan tujuan penyelenggaraan jasa konstruksi, UU Jasa Konstruksi 2017 memberikan kewajiban kepada Pemerintah Pusat, melalui Pasal 4 ayat (1) huruf b, untuk  menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna jasa dan Penyedia jasa. Dan untuk pelaksanaan kewajibannya tersebut, Pemerintah diberikan kewenangan mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf (b) UU Jasa Konstruksi 2017. Bahkan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan penyelengaraan jasa konstruksi terkait dengan kesetaraan Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam Pasal 3 huruf (b) UU Jasa Konstruksi 2017 di atas, penjelasan Pasal 3 huruf (b) menyebutkan penerapan dokumen kontrak standar sebagai salah satu upaya. Adapun mengenai kontrak standar ini bukanlah hal baru dalam dunia konstruksi. Tercatat beberapa standar kontrak kontruksi yang diterbitkan oleh beberapa negara atau asosiasi profesi seperti FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Counsels), JCT (Joint Contract Tribunals), AIA (American Institute of Architects) dan SIA (Singapore Institute of Architects).

Lebih lanjut, kedua ketentuan perihal jasa konstruksi tersebut mengatur pula ketentuan-ketentuan yang sekurang-kurangnya harus tercantum dalam suatu Kontrak Kerja Konstruksi. Secara umum, tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua pengaturan tersebut. Beberapa perbedaan yang dimuat dalam UU Jasa Konstruksi 2017 sekiranya perlu menjadi catatan adalah sebagai berikut:

    adanya jaminan pembayaran oleh Pengguna Jasa. Dalam UU Jasa Konstruksi 1999, pengaturan mengenai kemampuan pembayaran Pengguna Jasa diatur dalam Pasal 15 UU Jasa Konstrusksi 1999 dan tidak tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) UU Jasa Konstruksi 1999 yang mengatur perihal ketentuan yang sekurang-kurangnya tercantum dalam Kontrak Kerja Konstruksi;
    perlindungan terhadap pihak ketiga, selain para pihak dan pekerja yang memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
    jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan;
    membedakan antara penyelesaian perselisihan dan pilihan penyelesaian sengketa;
    hak dan kewajiban para pihak yang setara;
    dalam Kontrak Kerja Konstruksi yang menggunakan 2 (dua) bahasa/bilingual, ketentuan dalam Bahasa Indonesia yang berlaku dalam hal terjadi perselisihan. Dalam UU Jasa Konstruksi 1999, tidak diatur secara tegas mengenai penggunaan Bahasa Indonesia dalam hal terjadi perselisihan. (***)

REFERENSI:

[1] Johannes Gunawan:Penggunaan Perjanjian Standard dan Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak, Padjajaran, Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat No.3-4,jilid XVII, Bandung:PT.Alumni,1987,hlm.55.




















Kontrak Kerja Konstruksi

Latar Belakang
Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu, penyelenggaraan jasa konstruksi perlu diatur lebih lanjut untuk mewujudkan tertib pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Peraturan mengenai jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU No. 18/1999”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (“PP No. 29/2000”) jo. Peraturan Pemerintah Nomor  59 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 29/2000 (“PP No. 59/2010”).

Dalam suatu pekerjaan konstruksi, dikenal 2 (dua) pihak, yaitu pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa. Pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa ini terikat dalam suatu hubungan kerja jasa konstruksi, dimana hubungan kerja tersebut diatur dan dituangkan dalam suatu kontrak kerja konstruksi.

Kerja Konstruksi
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 18/1999, disebutkan bahwa kontrak kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi. Pada dasarnya, kontrak kerja konstruksi dibuat secara terpisah sesuai tahapan dalam pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, untuk pekerjaan pelaksanaan, dan untuk pekerjaan pengawasan.

Merujuk kepada Pasal 23 ayat (6) PP No. 29/2000, kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Kontrak kerja konstruksi ini juga dibuat dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal kontrak kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (dual language).

Berdasarkan PP 29/2000, kontrak kerja konstruksi dibedakan berdasarkan:

    bentuk imbalan, yang terdiri dari lump sum, harga satuan, biaya tambah imbalan jasa, gabungan Lump Sum dan harga satuan, atau aliansi;
    jangka waktu pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari: tahun tunggal, atau tahun jamak;
    cara pembayaran hasil pekerjaan, yaitu sesuai kemajuan pekerjaan, atau secara berkala.

Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-lurangnya harus mencakup mengenai:

    para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
    rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu pelaksanaan;
    masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, memuat jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
    tenaga ahli, memuat ketentuan jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi;
    hak dan kewajiban, memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan pekerjaan konstruksi;
    cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran hasil pekerjaan konstruksi;
    cidera janji, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
    penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
    pemutusan kontrak kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
    keadaan memaksa (force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
    kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas kegagalan bangunan;
    perlindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; dan
    aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.

Kontrak kerja konstruksi juga harus memuat ketentuan tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:

    kepemilikan hasil perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan
    pemenuhan kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten, sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.

Kontrak kerja konstruksi juga dapat memuat kesepakatan para pihak tentang pemberian insentif, dimana insentif ini dapat berupa uang atau bentuk lainnya. Yang dimaksud dengan insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada penyedia jasa atas prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih awal daripada yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu sesuai yang dipersyaratkan.



Isrilitha Pratami Puteri






















Jumat, 16 September 2016
13 Item yang Harus Ada dalam Kontrak Jasa Konstruksi
Dalam manajemen proyek di Indonesia, FIDIC sudah dipakai.
MYS
13 Item yang Harus Ada dalam Kontrak Jasa Konstruksi
Ilustrasi tiang bangunan ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta. Foto: MYS
BERITA TERKAIT

    Asuransi Nasional Diminta Dukung Pembiayaan Infrastruktur
    Arbitrase Darurat Diklaim Bawa Keuntungan Ganda Bagi Para Pihak
    Sebanyak Ini Proyek yang Lagi Dipantau BKPM
    High-Cost Economic, ‘Momok’ Penghambat Investasi Masuk Indonesia
    Lima Alasan Perpres Listrik Berbasis Sampah Digugat

Bagi yang selama ini terlibat intens dalam manajemen proyek, Anda mungkin sudah terbiasa dengan substansi yang harus diatur dalam suatu kontrak jasa konstruksi. Dalam rezim pemerintahan yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur, kontrak jasa konstruksi itu semakin penting diketahui.

Secara normatif, ada 13 item yang harus ada dalam suatu kontrak jasa konstruksi. Oh ya, sesuai Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, hubungan kerja para pihak dituangkan dalam apa yang disebut kontrak jasa konstruksi. Kontrak itu, kata Pasal 18 ayat (3) mengikat bagi para pihak. Salah satu pihak tak bisa secara sepihak mengubah isi dokumen kontrak.

Apa saja 13 item yang harus ada dalam kontrak jasa konstruksi? Pertama, identitas para pihak yang berkontrak. Syarat ini lazim ditemukan dalam kontrak-kontrak lain karena harus jelas siapa subjek yang melakukan hubungan hukum tersebut. Identitas setidak-tidaknya memuat nama, alamat, kewarganegaraan, domisili, dan kewenangan membubuhkan tanda tangan.


Kedua, rumusan pekerjaan. Bagian ini harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai apa yang akan dikerjakan, lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu proyek. Dalam praktik, penambahan waktu pekerjaan tetap dimungkinkan asalkan disepakati lebih dahulu para pihak.

Ketiga, masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat jangka waktu pertanggungan atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa. Syarat ini berkaitan dengan asuransi proyek konstruksi, dengan asumsi ada kemungkinan kegagalan atau kejadian di luar perkiraan.

Keempat, gambaran tentang tenaga ahli, baik mengenai jumlah, kualifikasi keahlian, dan klasifikasi pekerjaan jasa kontruksi yang akan dilakukan. Kelima, hak dan kewajiban para pihak. Misalnya, di satu sisi pengguna jasa berhak untuk memperoleh hasil konstruksi; di sisi lain berkewajiban memenuhi isi perjanjian seperti membayar penyedia jasa.

Keenam, cara pembayaran. Dalam kontrak harus diatur bagaimana pembayaran proyek dilakukan. Bisa jadi ada kemungkinan pembayaran di muka, memakai cicilan, harus menggunakan bank, dan lain-lain. Klausula ini memberikan kepastian kepada para pihak. Ketujuh, aturan mengenai cedera janji (wanprestasi). Kontrak harus memuat tanggung jawab salah satu pihak jika isi perjanjian tidak dilaksanakan sesuai apa yang disepakati. Penting juga memuat apa yang masuk lingkup cedera janji.

Kedelapan, klausula penyelesaian sengketa. Kontrak harus memuat mekanisme penyelesaian sengketa yang akan ditempuh para pihak jika terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi bisa lewat pengadilan atau penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Kesembilan, pemutusan kontrak kerja konstruksi. Jika salah satu pihak tidak menyelesaikan kewajiban, terbuka peluang pemutusan kontrak secara sepihak. Dalam konteks ini, kontrak jasa konstruksi sebaiknya memuat ketentuan pemutusan kontrak kerja.

Kesepuluh, kondisi-kondisi yang dikualifikasi sebagai keadaan memaksa atau force majeur. Ini adalah kejadian yang timbul di luar kehendak para pihak dan menimbulkan implikasi pada pekerjaaan jasa konstruksi. Misalnya, banjir atau gempa bumi. Kesebelas, klausula mengenai kegagalan bangunan. Isinya tentang kewajiban para pihak (penyedia jasa dan pengguna jasa) jika terjadi kegagalan bangunan.

Keduabelas, klausula mengenai perlindungan pekerja. Para pekerja yang mengerjakan jasa kontruksi seharusnya dilindungi dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja. Klausula ini bisa merujuk pada UU Ketenagakerjaan dan peraturan keselamatan kerja. Ketigabelas, klausula mengenai pemenuhan kewajiban yang berkenaan dengan lingkungan, seperti Amdal.

Selain ketigabelas materi tadi sebenarnya para pihak masih diperkenankan oleh hukum untuk mengatur hal-hal lain. Misalnya tentang pemberian insentif, hak kekayaan intelektual atas rancang bangun atau perencanaan pekerjaan, dan kemungkinan sub-penyedia jasa (subkontrak).


Organisasi konsultan internasional, FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Conseils), sebenarnya sudah membuat standard kontrak jasa konstruksi yang lazim dipakai di banyak negara. FIDIC Conditions of Contract terus diperbarui dan mengalami revisi, disesuaikan dengan perke










Tidak ada komentar:

Posting Komentar