SEKILAS PERIHAL KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
Oleh SITI YUNIARTI (April 2017)
Baik Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
maupun ketentuan penggantinya,Undang-Undang No.27 Tahun 2017, menempatkan
Kontrak Kerja Konstruksi sebagai dasar
hubungan hukum antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa. Dengan demikian,
hubungan hukum yang timbul antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa berada dalam
ranah hukum perdata, khususnya hukum perjanjian.
Konsisten dengan hal tersebut, penerapan salah satu asas
dalam hukum perjanjian, yakni asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur
dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diaplikasikan pada
UU Jasa Konstruksi 2017 melalui penerapan asas kebebasan sebagai salah satu
asas yang digunakan dalam penyelenggaraan jasa kontruksi. Asas kebebasan dalam
UU Jasa Konstruksi 2017 dimaknai sebagai kebebasan berkontrak antara Penyedia
Jasa dan Pengguna Jasa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Perihal
kebebasan berkontrak, Johannes Gunawan[1] menjelaskan bahwa asas kebebasan
berkontrak meliputi:
Kebebasan setiap
orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat
perjanjian.
Kebebasan para
pihak untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian.
Kebebasan para
pihak untuk menentukan bentuk perjanjian.
Kebebasan para
pihak untuk menentukan isi perjanjian.
Sejalan dengan lingkup asas kebebasan berkontrak di atas,
Pasal 46 ayat (2) UU Jasa Konstruksi 2017 mengatur Kontrak Kerja Konstruksi
dibentuk dengan mengikuti perkembangan kebutuhan untuk mengakomodasi
bentuk-bentuk kerja konstruksi yang berkembang di masyarakat dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Hal menarik adalah perihal kesetaraan kedudukan antara
Penyedia Jasa dan Pegguna Jasa. Perihal kekurangan kesetaraan Penyedia Jasa dan
Pengguna Jasa diakui secara eksplisit dalam Bagian Umum Penjelasan UU Jasa
Konstrusi 1999 sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi
jasa konstruksi nasional pada saat diundangkannya UU Jasa Konstruksi 1999.
Adapun dalam UU Jasa Konstruksi 2017, walaupun tidak menyatakan hal serupa,
namun UU Jasa Konstruksi 2017 menempatkan kesetaraan antara Penyedia Jasa dan
Pengguna Jasa sebagai salah satu asas dalam penyelenggaraan jasa konstruksi,
yakni asas kesetaraan yang dimaknai bahwa kegiatan Jasa Konstruksi harus
dilaksanakan dengan memperhatikan kesetaraan kedudukan antara Pengguna Jasa dan
Penyedia Jasa. Serta menempatkan kesetaraan hubungan kerja Penyedia Jasa dan
Pengguna Jasa sebagai salah satu tujuan dari penyelenggaraan jasa konstruksi
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 huruf (b) UU Jasa Konstruksi 2017 sebagai
berikut:
Penyelenggaran Jasa Konstruksi bertujuan untuk:
mewujudkan
ketertiban penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan
antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam menjalankan hak dan kewajiban,
serta meningkatkan kepatuhan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
Sejalan dengan penggunaan asas kesetaraan dan tujuan
penyelenggaraan jasa konstruksi, UU Jasa Konstruksi 2017 memberikan kewajiban
kepada Pemerintah Pusat, melalui Pasal 4 ayat (1) huruf b, untuk menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara
Pengguna jasa dan Penyedia jasa. Dan untuk pelaksanaan kewajibannya tersebut,
Pemerintah diberikan kewenangan mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang
menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf (b) UU Jasa Konstruksi 2017.
Bahkan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan penyelengaraan jasa
konstruksi terkait dengan kesetaraan Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam
Pasal 3 huruf (b) UU Jasa Konstruksi 2017 di atas, penjelasan Pasal 3 huruf (b)
menyebutkan penerapan dokumen kontrak standar sebagai salah satu upaya. Adapun
mengenai kontrak standar ini bukanlah hal baru dalam dunia konstruksi. Tercatat
beberapa standar kontrak kontruksi yang diterbitkan oleh beberapa negara atau
asosiasi profesi seperti FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs
Counsels), JCT (Joint Contract Tribunals), AIA (American Institute of
Architects) dan SIA (Singapore Institute of Architects).
Lebih lanjut, kedua ketentuan perihal jasa konstruksi
tersebut mengatur pula ketentuan-ketentuan yang sekurang-kurangnya harus
tercantum dalam suatu Kontrak Kerja Konstruksi. Secara umum, tidak ada
perbedaan signifikan diantara kedua pengaturan tersebut. Beberapa perbedaan
yang dimuat dalam UU Jasa Konstruksi 2017 sekiranya perlu menjadi catatan
adalah sebagai berikut:
adanya jaminan
pembayaran oleh Pengguna Jasa. Dalam UU Jasa Konstruksi 1999, pengaturan
mengenai kemampuan pembayaran Pengguna Jasa diatur dalam Pasal 15 UU Jasa
Konstrusksi 1999 dan tidak tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) UU Jasa Konstruksi
1999 yang mengatur perihal ketentuan yang sekurang-kurangnya tercantum dalam
Kontrak Kerja Konstruksi;
perlindungan
terhadap pihak ketiga, selain para pihak dan pekerja yang memuat kewajiban para
pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau
menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
jaminan atas
risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan
pekerjaan konstruksi atau akibat dari kegagalan bangunan;
membedakan antara
penyelesaian perselisihan dan pilihan penyelesaian sengketa;
hak dan kewajiban
para pihak yang setara;
dalam Kontrak
Kerja Konstruksi yang menggunakan 2 (dua) bahasa/bilingual, ketentuan dalam
Bahasa Indonesia yang berlaku dalam hal terjadi perselisihan. Dalam UU Jasa
Konstruksi 1999, tidak diatur secara tegas mengenai penggunaan Bahasa Indonesia
dalam hal terjadi perselisihan. (***)
REFERENSI:
[1] Johannes Gunawan:Penggunaan Perjanjian Standard dan
Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak, Padjajaran, Majalah Ilmu Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat No.3-4,jilid XVII, Bandung:PT.Alumni,1987,hlm.55.
Kontrak Kerja Konstruksi
Latar Belakang
Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang
ekonomi, sosial, dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian
berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Oleh
karena itu, penyelenggaraan jasa konstruksi perlu diatur lebih lanjut untuk
mewujudkan tertib pengikatan dan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Peraturan mengenai jasa konstruksi diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU No. 18/1999”) dan Peraturan Pemerintah Nomor
29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (“PP No. 29/2000”) jo.
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010
tentang Perubahan atas PP No. 29/2000 (“PP No. 59/2010”).
Dalam suatu pekerjaan konstruksi, dikenal 2 (dua) pihak,
yaitu pihak pengguna jasa dan pihak penyedia jasa. Pihak pengguna jasa dan
pihak penyedia jasa ini terikat dalam suatu hubungan kerja jasa konstruksi,
dimana hubungan kerja tersebut diatur dan dituangkan dalam suatu kontrak kerja
konstruksi.
Kerja Konstruksi
Berdasarkan Pasal 1 UU No. 18/1999, disebutkan bahwa kontrak
kerja konstruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur hubungan hukum antara
pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Pada dasarnya, kontrak kerja konstruksi dibuat secara terpisah sesuai tahapan
dalam pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari kontrak kerja konstruksi untuk
pekerjaan perencanaan, untuk pekerjaan pelaksanaan, dan untuk pekerjaan
pengawasan.
Merujuk kepada Pasal 23 ayat (6) PP No. 29/2000, kontrak
kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Kontrak kerja
konstruksi ini juga dibuat dalam Bahasa Indonesia. Dalam hal kontrak kerja
konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam Bahasa Indonesia dan
Bahasa Inggris (dual language).
Berdasarkan PP 29/2000, kontrak kerja konstruksi dibedakan
berdasarkan:
bentuk imbalan,
yang terdiri dari lump sum, harga satuan, biaya tambah imbalan jasa, gabungan
Lump Sum dan harga satuan, atau aliansi;
jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan konstruksi, yang terdiri dari: tahun tunggal, atau tahun
jamak;
cara pembayaran
hasil pekerjaan, yaitu sesuai kemajuan pekerjaan, atau secara berkala.
Suatu kontrak kerja konstruksi sekurang-lurangnya harus
mencakup mengenai:
para pihak, memuat
secara jelas identitas para pihak;
rumusan pekerjaan,
memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan
batasan waktu pelaksanaan;
masa pertanggungan
dan/atau pemeliharaan, memuat jangka waktu pertanggungan dan/atau pemeliharaan
yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa;
tenaga ahli,
memuat ketentuan jumlah, klasifikasi dan kualifikasi tenaga ahli untuk
melaksanakan pekerjaan konstruksi;
hak dan kewajiban,
memuat hak pengguna jasa untuk memperoleh hasil pekerjaan konstruksi serta
kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan serta hak penyedia
jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya
melaksanakan pekerjaan konstruksi;
cara pembayaran,
memuat ketentuan tentang kewajiban pengguna jasa dalam melakukan pembayaran
hasil pekerjaan konstruksi;
cidera janji,
memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
penyelesaian
perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan
akibat ketidaksepakatan;
pemutusan kontrak
kerja konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan kontrak kerja konstruksi
yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
keadaan memaksa
(force majeure), memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan
dan kemampuan para pihak, yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
kegagalan bangunan,
memuat ketentuan tentang kewajiban penyedia jasa dan/atau pengguna jasa atas
kegagalan bangunan;
perlindungan
pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan
keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial; dan
aspek lingkungan,
memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan.
Kontrak kerja konstruksi juga harus memuat ketentuan tentang
Hak Atas Kekayaan Intelektual yang mencakup:
kepemilikan hasil
perencanaan, berdasarkan kesepakatan; dan
pemenuhan
kewajiban terhadap hak cipta atas hasil perencanaan yang telah dimiliki oleh
pemegang hak cipta dan hak paten yang telah dimiliki oleh pemegang hak paten,
sesuai undang-undang tentang hak cipta dan undang-undang tentang hak paten.
Kontrak kerja konstruksi juga dapat memuat kesepakatan para
pihak tentang pemberian insentif, dimana insentif ini dapat berupa uang atau
bentuk lainnya. Yang dimaksud dengan insentif adalah penghargaan yang diberikan
kepada penyedia jasa atas prestasinya, antara lain, kemampuan menyelesaikan
pekerjaan lebih awal daripada yang diperjanjikan dengan tetap menjaga mutu
sesuai yang dipersyaratkan.
Isrilitha Pratami Puteri
Jumat, 16 September 2016
13 Item yang Harus Ada dalam Kontrak Jasa Konstruksi
Dalam manajemen proyek di Indonesia, FIDIC sudah dipakai.
MYS
13 Item yang Harus Ada dalam Kontrak Jasa Konstruksi
Ilustrasi tiang bangunan ruang tunggu bandara
Soekarno-Hatta. Foto: MYS
BERITA TERKAIT
Asuransi Nasional
Diminta Dukung Pembiayaan Infrastruktur
Arbitrase Darurat
Diklaim Bawa Keuntungan Ganda Bagi Para Pihak
Sebanyak Ini
Proyek yang Lagi Dipantau BKPM
High-Cost
Economic, ‘Momok’ Penghambat Investasi Masuk Indonesia
Lima Alasan
Perpres Listrik Berbasis Sampah Digugat
Bagi yang selama ini terlibat intens dalam manajemen proyek,
Anda mungkin sudah terbiasa dengan substansi yang harus diatur dalam suatu
kontrak jasa konstruksi. Dalam rezim pemerintahan yang memprioritaskan pembangunan
infrastruktur, kontrak jasa konstruksi itu semakin penting diketahui.
Secara normatif, ada 13 item yang harus ada dalam suatu
kontrak jasa konstruksi. Oh ya, sesuai Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi, hubungan kerja para pihak dituangkan dalam apa yang
disebut kontrak jasa konstruksi. Kontrak itu, kata Pasal 18 ayat (3) mengikat
bagi para pihak. Salah satu pihak tak bisa secara sepihak mengubah isi dokumen
kontrak.
Apa saja 13 item yang harus ada dalam kontrak jasa
konstruksi? Pertama, identitas para pihak yang berkontrak. Syarat ini lazim
ditemukan dalam kontrak-kontrak lain karena harus jelas siapa subjek yang
melakukan hubungan hukum tersebut. Identitas setidak-tidaknya memuat nama,
alamat, kewarganegaraan, domisili, dan kewenangan membubuhkan tanda tangan.
Kedua, rumusan pekerjaan. Bagian ini harus merumuskan secara
jelas dan rinci mengenai apa yang akan dikerjakan, lingkup kerja, nilai
pekerjaan, dan batasan waktu proyek. Dalam praktik, penambahan waktu pekerjaan
tetap dimungkinkan asalkan disepakati lebih dahulu para pihak.
Ketiga, masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang
memuat jangka waktu pertanggungan atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab
penyedia jasa. Syarat ini berkaitan dengan asuransi proyek konstruksi, dengan
asumsi ada kemungkinan kegagalan atau kejadian di luar perkiraan.
Keempat, gambaran tentang tenaga ahli, baik mengenai jumlah,
kualifikasi keahlian, dan klasifikasi pekerjaan jasa kontruksi yang akan
dilakukan. Kelima, hak dan kewajiban para pihak. Misalnya, di satu sisi
pengguna jasa berhak untuk memperoleh hasil konstruksi; di sisi lain
berkewajiban memenuhi isi perjanjian seperti membayar penyedia jasa.
Keenam, cara pembayaran. Dalam kontrak harus diatur
bagaimana pembayaran proyek dilakukan. Bisa jadi ada kemungkinan pembayaran di
muka, memakai cicilan, harus menggunakan bank, dan lain-lain. Klausula ini
memberikan kepastian kepada para pihak. Ketujuh, aturan mengenai cedera janji
(wanprestasi). Kontrak harus memuat tanggung jawab salah satu pihak jika isi
perjanjian tidak dilaksanakan sesuai apa yang disepakati. Penting juga memuat
apa yang masuk lingkup cedera janji.
Kedelapan, klausula penyelesaian sengketa. Kontrak harus
memuat mekanisme penyelesaian sengketa yang akan ditempuh para pihak jika
terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi bisa lewat pengadilan
atau penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Kesembilan,
pemutusan kontrak kerja konstruksi. Jika salah satu pihak tidak menyelesaikan
kewajiban, terbuka peluang pemutusan kontrak secara sepihak. Dalam konteks ini,
kontrak jasa konstruksi sebaiknya memuat ketentuan pemutusan kontrak kerja.
Kesepuluh, kondisi-kondisi yang dikualifikasi sebagai
keadaan memaksa atau force majeur. Ini adalah kejadian yang timbul di luar
kehendak para pihak dan menimbulkan implikasi pada pekerjaaan jasa konstruksi.
Misalnya, banjir atau gempa bumi. Kesebelas, klausula mengenai kegagalan
bangunan. Isinya tentang kewajiban para pihak (penyedia jasa dan pengguna jasa)
jika terjadi kegagalan bangunan.
Keduabelas, klausula mengenai perlindungan pekerja. Para
pekerja yang mengerjakan jasa kontruksi seharusnya dilindungi dalam rangka
keselamatan dan kesehatan kerja. Klausula ini bisa merujuk pada UU
Ketenagakerjaan dan peraturan keselamatan kerja. Ketigabelas, klausula mengenai
pemenuhan kewajiban yang berkenaan dengan lingkungan, seperti Amdal.
Selain ketigabelas materi tadi sebenarnya para pihak masih
diperkenankan oleh hukum untuk mengatur hal-hal lain. Misalnya tentang
pemberian insentif, hak kekayaan intelektual atas rancang bangun atau perencanaan
pekerjaan, dan kemungkinan sub-penyedia jasa (subkontrak).
Organisasi konsultan internasional, FIDIC (Federation
Internationale des Ingenieurs Conseils), sebenarnya sudah membuat standard
kontrak jasa konstruksi yang lazim dipakai di banyak negara. FIDIC Conditions
of Contract terus diperbarui dan mengalami revisi, disesuaikan dengan perke
Tidak ada komentar:
Posting Komentar